Menjalankan Misi (Bag. 1)

Oleh ; Abdul Rahman Sakka
Ketika terjadi perang Tabuk, Muaz bin Jamal mendampingi khusus Rasulullah SAW. Hingga pada suatu pagi hari, sambil berjalan-jalan bersama Rasulullah SAW, Muaz bin Jamal memanfatkan kesempatan tersebut untuk bertanya dan konsultasi kepadanya tentang amalan yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkan dari api neraka. Cerita tentang Muaz bin Jamal diriwayatkan dan dicatatkan oleh Ibn Majah dalam Kitab Sunannya sebagai berikut;

عَنْ مُعَاذ جَبَل قاَلَ كنتُ معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في سفَرٍ، فأصبَحتُ يومًا قريبًا منهُ ونحنُ نَسيرُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنْ النَّارِ. قَالَ: “لَقَدْ سَأَلْتَ عَظِيمًا، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ” ثُمَّ قال: “أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ النَّارَ الْمَاءُ، وَصَلَاةُ الرَّجُلِ من جَوْفِ اللَّيْلِ” ثُمَّ قَرَأَ{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ} حَتَّى بَلَغَ {جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} [السجدة: 16 – 17]، ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ؟ الْجِهَادُ”، ثُمَّ قَالَ: “أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ ” قُلْتُ: بَلَى. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ فَقَالَ: “تَكُفُّ عَلَيْكَ هَذَا” قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ قَالَ: “ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوهِهِمْ فِي النَّارِ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟! ”

Artinya: Muaz bin Jamal menceritakan; “Aku pernah bersama Nabi SAW di dalam perjalanan, dan di waktu pagi suatu hari aku dekat dengannya dan waktu itu kami sedang berjalan. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku dengan amal yang bisa memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka.’” “Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh kamu telah bertanya tentang urusan yang besar. Sesungguhnya ia mudah atas orang-orang yang Allah SWT berikan kemudahan padanya. Kamu hendaklah beribadah kepada Allah SWT dan jangan sekutukan Allah SWT sedikitpun juga. Kamu mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa Ramadan dan haji ke Baitullah. Rasulullah berkata; “Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah bisa memadamkan dosa sebagaimana air bisa memadamkan api, dan salatnya seseorang di tengah malam.”Kemudian beliau membacakan surat Al-Sajadah ayat 16 hingga ayat 17. Beliau berkata lagi; “Maukah aku beritahukan kepadamu pokok dari segala urusan, tiangnya dan puncak tertingginya? yaitu jihad.” Kemudian Rasulullah SAW kembali bersabda: “Maukah aku beritahu kamu kunci seluruhnya itu?” Muadz bin Jabal menjawab: “tentu Rasulullah.” Maka Rasulullah SAW memegang lidahnya lalu bersabda: “tahan ini”. Muadz bin Jabal berkata: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang kami ucapkan?” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Mengherankan sekali engkau hai Muadz, bukankah yang menelungkupkan manusia dalam neraka jahannam di atas tengkuk-tengkuk mereka adalah hasil daripada ucapan lisan-lisan mereka?” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini diriwayatkan dan dibukukan oleh banyak perawi di antaranya Ibn Majah, al-Tirmizi, al-Nasai, Ahmad bin Hanbal, al-Tabrani dan yang lainnya. Semuanya meriwayatkan dari jalur yang sama. Sanadnya terbentang secara tunggal dari Muaz bin Jamal sehingga hadis ini termasuk hadis garib dari sisi ‘adad al-turuq (kuantitas). Al-Tirmizi menetapkan hadis ini sebagai hadis hasan-sahih. Nasiruddin al-Albani menilainya sahih. Syuaib al-Arnut juga menilainya sahih karena memiliki banyak jalur dan juga syawahid (pendukung). Dengan demikian secara kualitas hadis ini sahih dan dapat dijadikan hujjah.
Dari bentuk matan, hadis ini berbentuk percakapan atau dialog. Dialog antara Muaz bin Jabal dengan Rasulullah SAW. Dialog keduanya memuat urusan besar terkait kerja-kerja kesalehan di dunia yang dapat dijadikan kunci pembuka pintu surga dan palang penutup neraka. Pertanyaan Muaz bin Jabal menjadi sebab yang melatari munculnya hadis ini (asbab al-wurud) yang berisi pesan penting Rasulullah SAW kepada seluruh umatnya.

Muaz bin Jabal yang bertanya langsung kepada Rasulullah SAW menunjukkan ketinggian penjagaannya terhadap amal saleh dan keinginannya yang kuat untuk mengetahui amal-amal saleh tersebut sebagai sarana untuk mencapai hadaf (tujuan) dan mewujudkan visi hidup. Namun tujuan tersebut tidak mungkin tercapai tanpa usaha maksimal dan langkah strategis. Visi hidup tidak mungkin terwujud tanpa misi yang jelas dan terarah. Karena itu, Muaz bin Jabal bertanya khusus kepada Rasulullah SAW untuk mendapatkan arahan dan petunjuk yang tepat bagaimana menjalankan misi di dunia agar bisa mewujudkan visi akhirat.
Maksud dari pertanyaan Muaz bin Jabal dipahami pada dua aspek; pertama, merupakan konsultasi pribadi untuk mendapatkan penguatan terkait amalannya yang lemah dan kurang maksimal. Memang, ada banyak sahabat yang sering datang kepada Rasulullah SAW bertanya tentang amalan apa yang terbaik ia lakukan yang dapat memasukkannya ke dalam surga?” Meskipun pertanyaan mereka sama, tetapi Rasulullah SAW memberikan jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan siapa yang bertanya dan bagaimana kondisinya. Ada yang diperintahkan berbakti kepada orangtuanya, ada juga yang diperintahkan menjaga salat lima waktunya, dan yang lainnya. Jawaban sesuai kebutuhan yang bertanya dan apa yang perlu dikuatkan.
Kedua, untuk mendapatkan petunjuk tentang amalan apa yang prioritas ia harus lakukan dari keseluruhan amal saleh yang diperintahkan Allah dan RasulNya. Bagaimanapun setiap manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan. Tidak ada seorang pun yang sanggup melaksanakan keseluruhan ajaran agama secara sempurna. Karena itu perlu ada pengaturan dan skala prioritas. Rasulullah SAW sendiri, ada ibadah yang beliau tidak laksanakan meskipun ibadah tersebut ditetapkan sebagai amalan sunah. Seperti salat sunah dua rakaat setelah wudu yang asal usulnya merupakan amalan Bilal bin Rabah, kada (mengganti) salat sunah qabliyah subuh sesaat setelah (ba’da) salat subuh yang dilaksanakan oleh seorang sahabat lalu Rasulullah SAW diamkan pertanda persetujuannya. Dua amalan sunah ini belum ditemukan keterangan hadis bahwa Rasulullah SAW melaksanakannya.
Rasullah SAW menanggapi pertanyaan Muaz bin Jabal dengan pujian sebagai pertanyaan yang berisi urusan penting. Beliau lalu berkata; “sungguh kamu telah bertanya kepadaku tentang urusan yang besar.” Pertanyaan tersebut disebut urusan besar karena menanyakan amalan yang besar yang juga hasilnya besar, yaitu mewujudkan visi hidup yakni kemenangan di akhirat, masuk surga dengan selamat. Rasulullah SAW juga menambahkan bahwa untuk mencapai visi tersebut tidak sulit bagi siapa pun yang Allah SWT mudahkan jalannya.
Misi yang dimaksudkan di sini adalah langkah yang ditempuh dan amalan yang dilakukan, serta usaha nyata untuk mewujudkan visi hidup yang telah ditentukan. Visi hidup telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, maka pada tulisan ini akan dibahas bagaimana menjalankan misi. Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Muaz dengan memesankan lima poin misi yang harus dijalankan untuk mewujudkan visi akhirat.

Kelima misi tersebut adalah; Pertama, pengokohan akidah untuk beramal secara ikhlas semata karena Allah SWT dan tidak melakukan kesyirikan. Kedua beramal sesuai syariat terutama saat menunaikan ibadah fardu yang merupakan empat dari lima pilar utama ajaran Islam yakni salat, puasa, zakat dan haji. Ketiga beramal dengan membuat skala prioritas, dengan mengedepankan yang fardu dari sunah, yang daruriyat dari yang hajiyat dan tahsinat. Keempat, memiliki semangat jihad dalam beramal. Kelima menjaga amal lisan sebagai kunci dari empat amal sebelumnya.

Beramal Ikhlas
Beramal yang benar adalah menjadikan semua pekerjaan dan aktivitas sebagai ibadah. Allah SWT menciptakan manusia di dunia tujuannya untuk beribadah kepadaNya. Karena itu manusia dituntut dan dituntun untuk menjadikan keseluruhan aktivitas hidupnya sebagai ibadah, yang manfaatnya akan kembali kepadanya di dunia dan di akhirat.

Ibadah artinya al-khudu’ wa al-inqiyad (merendahkan diri dan ketundukan). Menurut Ibn Taimiyah, ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridai dari ucapan dan perbuatan baik yang tidak tampak maupun yang tampak. Ketika manusia diciptakan untuk beribadah maka ibadah yang dimaksudkan adalah ibadah ikhlas karena Allah SWT. Seluruh Nabi dan Rasul diutus untuk mengajarkan umatnya beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas.
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ suh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Q.S. al-Bayyinah : 5
Ikhlas menurut al-Jurjani bermakna membersihkan hati dari segala jenis kotoran yang mengotori kesuciannya, juga bermakna membersihkan amal dari segala kotoran. Juga bermakna saat engkau tidak mengharap dan mencari orang untuk menyaksikan amalmu selain Allah SWT. Sedangkan ikhlas menurut Hasan Albanna adalah mengharapkan keridaan Allah SWT dan pahala dari semua ucapan, amal dan jihad yang dilakukannya tanpa didorong oleh kepentingan pribadi, penampilan, kemewahan, pangkat, gelar, kedudukan dan lainnya.

Menurut Quraisy Syihab, kata ikhlas berasal dari akar kata yang berarti murni, suci setelah sebelumnya bercampur dengan sesuatu yang lain. Ikhlas adalah memantapkan niat dengan menyingkirkan segala sesuatu yang bukan selain Allah SWT. Manusia berpotensi mencampurkan keikhlasannya dengan sesuatu yang lain karena itu, setiap orang dituntut untuk berusaha menyingkirkannya sesuatu itu.
Penjelasan ulama di atas dapat dipahami bahwa bekerja ikhlas adalah ketika seluruh pekerjaan, aktivitas, dan perbuatan semata dan murni karena Allah SWT tanpa tercampuri sedikit pun keinginan selain kepadaNya. Semua pekerjaan dan amal diorientasikan untuk menggapai ridaNya. Apa pun pekerjaan atau amalan yang kita lakukan jika terkotori dengan keinginan selain Allah SWT, maka amalan tersebut terseret ke dalam lumpur kesyirikan, baik syirik besar ataupun syirik kecil. Syirik kecil adalah riya (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar). Keduanya bertujuan untuk mendapatkan pujian dari apa yang dilakukannya.

Ikhlas merupakan amalan hati. Antara ikhlas, niat dan amal memiliki keterkaitan. Ibarat menanam benih di tanah lalu tumbuh dengan subur, niat adalah benihnya, menanam di tanah adalah amalnya, sedangkan ikhlas adalah air yang menyiraminya. Amal akan sia-sia tanpa diawali dengan niat, dan niat saja belum cukup, butuh keikhlasan. Seseorang yang berusaha dan bersusah payah menanam benih di tanah, tidaklah mungkin benih itu akan tumbuh tanpa disiram dengan air. Demikianlah amal seseorang bahwa betapa pun kerja keras seseorang menanam benih kebajikan, jika tidak disiram dengan air keikhlasan, maka benih kebajikan itu tidak akan tumbuh menghasilkan kebaikan baru dan membuahkan pahala.

Ketahuilah bahwa tidak ada amal dan usaha yang akan menggapai kebaikan kecuali dengan ikhlas. Al-Gazali berkata semua manusia akan binasa kecuali yang berpengetahuan, semua yang berpengetahuan akan binasa kecuali yang mengamalkan, semua yang beramal akan binasa kecuali yang ikhlas.
Ketahuilah bahwa syarat utama menjalankan misi adalah menjaga keikhlasan diri dalam ibadah kepada Allah SWT, tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh dia telah berbuat dosa besar, yang dosa besar itu tidak akan pernah diampuni oleh sang Pencipta, Tuhan Semesta alam.

Beramal Sesuai Syariat
Menurut Quraisy Syihab, kata syariat pada mulanya berarti air yang banyak atau jalan menuju sumber air. Selanjutnya agama dinamai syariat karena ia adalah sumber kehidupan ruhani sebagaimana air merupakan sumber kehidupan jasmani. Fungsi agama adalah membersihkan ruhani sebagaimana air berfungsi membersihkan kotoran material. Syariat dimaknai sebagai jalan terbentang untuk satu umat tertentu dan Nabi tertentu seperti syariat Nabi Nuh as, syariat Nabi Musa dan yang lainnya.

Syariat setiap umat tersebut menurut Wahbah Zuhaili sesuai zaman perutusan Nabinya kepada mereka. Umat yang ada pada masa diutusnya Nabi Musa as. sampai masa Nabi Isa as., syariat mereka adalah apa yang ada dalam kitab Taurat. Umat yang ada pada masa perutusan Nabi Isa as. sampai masa Nabi Muhammad SAW, syariat mereka adalah apa yang ada dalam kitab Injil. Selanjutnya seluruh umat manusia yang ada pada awal perutusan Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman, syariat yang diterima di sisi Allah SWT hanyalah al-Quran.
Ibn Taimiyah menegaskan bahwa syariat Islam adalah al-Quran dan sunah RasulNya. Melaksanakan syariat berarti melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT, ketataan kepada RasulNya dan kepada pemimpin yang mentaati Allah SWT dan RasulNya. Syariat yang diturunkan Allah melalui RasulNya Muhammad SAW mencakup seluruh kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena itulah tidak mungkin manusia keluar dari syariat di setiap urusannya. Apa pun yang memberi maslahat baginya maka itu adalah bagian dari syariat, baik berkaitan dengan akidah, ibadah, politik, muamalah dan yang lainnya.

Penjelasan ulama di atas dapat dipahami bahwa syariat meliputi seluruh hukum dan aturan yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya sebagai suatu bentuk ketetapan yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan. Aturan tersebut bertujuan untuk memberikan kemaslatan bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Adapun syariat bagi umat Muhammad SAW semuanya termaktub dalam al-Quran secara global dan tertuang dalam hadis Nabi SAW secara terinci.

Dengan demikian, Maksud beramal sesuai syariat adalah segala bentuk pekerjaan, aktivitas, baik amalan fisik maupun amalan lisan yang dilakukan semuanya berdasarkan tuntunan al-Quran dan sunah Nabi SAW. Amal perbuatan yang dilakukan merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan ketaatan kepada RasulNya. Segala bentuk perbuatan jika keluar dari koridor ketaatan adalah penyimpangan dari syariat, dan itu adalah pengingkaran terhadap al-Quran dan sunah. Beramal sesuai syariat dalam istilah lainnya disebut dengan amal saleh.

Beramal sesuai syariat yang dibingkai dengan keikhlasan adalah inti dari perbuatan ibadah. Keduanya terpadu dan menyatu di setiap aktivitas dan amalan seorang muslim. Ketika manusia diciptakan di muka bumi untuk beribadah, maka ibadah yang dimaksud adalah segala amal baik yang sesuai dengan syariat dan dilaksanakan dengan ikhlas.
Allah SWT memberi tuntunan dalam Q.S. al-‘Asr bahwa manusia beruntung dan menjadi pemenang yang tidak tergelincir masuk lobang kerugian hanyalah mereka yang menjaga keimanan dan beramal saleh. Kemenangannya dirayatakan dengan meraih kedudukan tertinggi di Jannah Firdaus saat berjumpa dengan Rabbnya Yang mengalungkannya keridaan padanya (Q.S. al-Kahfi:107 – 110)

Iman dan amal saleh menurut Buya Hamka adalah dua sejoli yang bertemu hidup pada diri seorang Mu’min. diumpamakan gabungan dua kata menjadi satu yaitu kebudayaan. Budi yang terletak dalam sikap jiwa dan daya yang terletak pada kegiatan hidup. Tidak mungkin iman saja tanpa menghasilkan amal. Tidak mungkin amal saja, padahal tidak bersumber dari niat yang ikhlas. Ikhlas tidak akan ada, kalau tidak dari iman. Maka menjalankan misi, maka amal harus dipastikan ketersesuaiannya dengan syariat dan keterjagaannya dalam keikhlasan. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *