Ketua STAI Al-Azhar Gowa Pemateri Dalam Pelatihan Mubalig Se-Indoensia Timur

Ketua STAI Al-Azhar Gowa, Dr. H. Abdul Rahman Sakka, Lc, MPdI tampil sebagai salah satu pemateri pada acara Pelatihan Muballigh-Muballigah Angkatan XI Se-Indonesia Timur yang dilaksanakan oleh Al-Markaz Al-Islami Makassar bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palopo yang berlangsung selama tiga hari 17-19 Syawal 1440 H/21-23 Juni 2019
Dalam pemaparan materinya yang bertema “Moderasi Islam dan Kearifan Lokal dalam Dakwah Rahmatan lil ‘Alamin” yang diikuti ratusan peserta, ia menjelaskan bahwa Islam adalah agama moderat atau washatiyah yang senantiasa menyikapi budaya dan kearifan lokal secara proporsional. Menurut beliau yang merupakan salah satu pengurus Ikatan Cendikiawan Alumni Timur Tengah bahwa, moderat memiliki dua makna; pertama sebuah metode berfikir, berinteraksi dan berprilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan (kutub) yang ekstrim, ekstrim kanan yang sering melahirkan paham teroris, dan ekstrim kiri yang sering menghadirkan keliberalan. Dengan kemoderatan dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat serta keadaan namun tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, senantiasa sejalan dengan al-Quran dan sunah Nabi namun juga tidak berbenturan dengan tradisi masyarakat (urf). Kedua, sebuah komitmen dan konsistensi untuk menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan sehingga menjadi satu karakteristik yang paripurna yang di dalamnya terdapat prinsip keadilan, sikap pertengahan, dan menjaga keutamaan, memilih yang terbaik, inklusif, dan toleran
Lebih lanjut, ia yang merupakan Sekertaris Ikatan Dai Indonesia provinsi Sulawesi Selatan ini menjelaskan cara Islam moderat menyikapi kearifan lokal dengan mengklasifikasinya menjadi tiga jenis; kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka perlu dijaga, dirawat dan dipromosikan seperti salat memakai sarung. Kearifan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam maka harus dicegah dan dihapus seperti tradisi maccera ketika habis panen, lalu sembelihannya itu disimpan di pinggir sawah yang niatnya sebagai persembahan kepada penguasa alam. Ketiga, kearifan lokal yang dipertahankan tetapi perlu diperbaiki dan disempurnakan seperti baju bodo saat pesta perkawinan yang tipis dan lengan pendek.
Di akhir materinya dilanjutkan dengan diskusi bersama peserta yang sangat antusias mengikuti pelatihan hingga akhir pada pukul 23.00.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *