Semua Berawal dari Niat (2)

Oleh: Abdul Rahman Sakka
Antara niat dan amal saling terkait. Untuk memahami keterkaitan keduanya, amal akan dibagi menjadi tiga kategori; amal ketaatan, amal kebiasaan yang mubah, dan amal yang terlarang.
1. Amal ketaatan. Ada dua hal yang penting diperhatikan terkait niat dalam amal ketaatan. Yang pertama niat itu sendiri. Niat dalam amal ketaatan seperti salat, puasa dan haji merupakan rukun atau syarat sahnya amal ketaatan. Kecuali ibadah yang kedudukannya sebagai sarana (wasilah) dari ibadah utama, seperti wudu dan mandi oleh ulama Hanafiyah dianggap sebagai syarat kesempurnaan saja untuk meraih pahala, bukan syarat sah. Seseorang yang melaksanakan amal ketaatan jika tidak diawali dengan niat maka amal tersebut batal meskipun lahiriyah telah dilaksanakan secara sempurna.

Yang kedua kepada siapa niatnya ditujukan. Niat pada aspek batiniah wajib ditujukan kepada Allah SWT dengan ikhlas, dan amal ketaatan pada aspek lahiriyah wajib sesuai sunah Nabi SAW. Salat, puasa, dan zakat meskipun benar sesuai sunah Nabi jika niatnya tidak ikhlas karena Allah SWT maka amalan tersebut sia-sia, demikian pula sebaliknya amal ketaatan tersebut meskipun niatnya ikhlas karena Allah SWT tetapi yang dipraktekkan tidak sesuai dengan sunah Nabi SAW maka amalannya tersebut sia-sia dan tertolak. Karena itu ikhlas niat dan benarnya perbuatan sesuai sunnah dua hal yang wajib terpadu dalam semua amal ketaatan.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Kahfi : 110 bahwa syarat untuk berjumpa dengan Allah SWT dalam adalah ikhlas hati dan amal fisik yang benar.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah dalam beribadah kepada Tuhannya.

Sebaik apapun amal ketaatan dan atau ibadah yang dikerjakan jika tidak dimaksudkan kepada Allah SWT maka amalan tersebut tidak akan memperoleh hasil kebaikan (pahala) di sisi Allah SWT, bahkan akan meraup dosa karenanya. Seseorang bersedekah karena niatnya ingin mendapat pujian sebagai dermawan, atau karena ingin dipilih sebagai pemimpin, maka amalannya tersebut menjadi sia sia baginya dirinya karena tidak meraih pahala dan bahkan mendapat ganjaran dosa dari sifat riya dan ketidakihlasannya, meskipun sedekahnya memberikan kebaikan bagi orang lain.

2. Amal kebiasaan yang bersifat mubah. Amal kebiasaan pada dasarnya tidak ada niatnya. Ketika orang mau makan dan minum maka tidak wajib berniat. Orang yang makan dan minum jika tidak berniat maka tidaklah membatalkan makan dan minumnya, tidak juga menimbulkan dosa baginya. Namun demikian, jika seseorang melaksanakan amal kebiasaannya tersebut ia niatkan untuk taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah SWT, maka bisa saja Allah SWT akan menilainya sebagai kebaikan dan memberinya pahala.

Misalnya orang yang tidur dengan tujuan memberikan hak istirahat tubuhnya agar menjadi kuat dan sehat sehingga bisa bangun salat malam, orang yang berbisnis dengan tujuan untuk memberi nafkah kepada keluarganya karena Allah SWT, orang yang menggauli pasangannya (suami istri) dengan niat sedekah kepuasan syahwat, dan agar terhindar dari maksiat dan untuk menghasilkan keturunan yang saleh, maka semua amal kebiasaan tersebut bisa saja dipahalai sebagai balasan atas niatnya. Rasulullah SAW bersabda;

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »

Artinya: Hubungan badan antara kalian dengan pasangan (suami istri) adalah sedekah. Sahabat bertanya ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri dengan dorongan syahwat akan mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘bukankah jika kalian berhubungan pada yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka jika kalian berhubungan pada yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. HR. Muslim

3. Amal terlarang. Niat terhadap amal terlarang tidak akan dinilai hingga ada kepastian amal terlarang tersebut dilakukan atau tidak. Hal berbeda dengan amal kebaikan yang telah dipahalai meskipun baru sebatas niat, bahkan dilipatgandakan pahalanya jika niatnya diwujudkan dalam perbuatan nyata. Niat melakukan amal terlarang akan dinilai sebagai satu keburukan dan diganjar dengan dosa jika larangan tersebut benar-benar dilakukannya. Tetapi jika telah meniatkan suatu amal terlarang, namun batal dilakukan karena takut kepada Allah SWT, maka dinilai sebagai satu kebaikan dan dibalas dengan pahala. Rasulullah SAW bersabda;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنِ رسول الله ﷺ فِيْمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قَالَ: «إِنَّ اللهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ. وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً»

Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak. Jika dia berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu keburukan. HR. Muslim

Dari hadis ini dipahami empat hal; pertama meninggalkan amal terlarang tidak serta merta dan secara otomatis akan dinilai sebagai kebaikan. Tetapi yang akan dinilai sebagai kebaikan adalah yang dilakukan dengan niat karena Allah SWT. Seperti seorang pejabat yang punya kesempatan melakukan korupsi, namun kesempatan itu tidak digunakan, dan korupsi tersebut tidak dilakukannya karena takutnya kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan membalasnya dengan pahala.

Kedua, meninggalkan larangan Allah SWT karena takut kepada makhluk justru akan mendapat dosa. Seperti orang yang sudah niat menerima suap kemudian tidak jadi diambil karena takut ditangkap KPK. Suap tidak dilakukan bukan karena takut kepada Allah tetapi takut terhadap KPK. Ketiga, meninggalkan larangan Allah karena tidak sanggup lagi melaksanakannya maka ia terhindar dari dosa namun tidak meraih pahala. Seperti wanita pezina yang tidak lagi melakukan perbuatan zinanya karena sakit, perbuatan meninggalkan zina bukan karena takutnya kepada Allah SWT tetapi ketidakmampuannya. Seandainya saja tidak sakit maka boleh jadi ia masih melakukan zina.

Keempat melakukan perbuatan terlarang dengan niat kebaikan karena Allah SWT bukan suatu kebaikan yang dipahalai. Seperti orang yang mencuri dengan niat hasil curiannya untuk membangun masjid atau membantu orang miskin. Perbuatan mencurinya adalah dosa, dan perbuatannya membangun masjid dan membantu orang miskin tidak dipahalai meskipun perbuatan baik, karena berasal dari sesuatu yang haram. Ada empat kaidah terkait dari mana dan bagaimana harta digunakan, tiga ujungnya neraka dan satu ujungnya surga. Sesuatu yag diperoleh dengan cara haram digunakan di jalan yang haram ujungnya adalah neraka, sesuatu yang diperoleh dengan cara halal digunakan di jalan yang haram ujungnya neraka, sesuatu yang diperoleh dengan cara haram digunakan di jalan yang halal ujungnya neraka, sesuatu yang diperoleh dengan cara halal dan digunakan di jalan yang benar dan halal ujungnya surga
Di akhir hadis, Rasulullah SAW menyebutkan hijrah sebagai satu contoh amalan yang hasilnya berbeda karena niatnya berbeda. Penyebutan hijrah secara khusus pada hadis ini terkait hijrahnya seorang laki-laki karena ingin menikahi Ummu Qais, ia digelari muhajir ummu Qais. Seakan Nabi SAW ingin mengatakan bahwa siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya seperti Ummu Qais maka hijrahnya dicatat sebagai suatu kebaikan, dan siapa yang berhijrah seperti laki-laki tersebut yang tujuannya ingin menikahi wanita yang dicintainya maka ia pun mendapatkan apa yang diniatkan.

Dengan demikian, setiap perbuatan hanyalah tergantung pada niat. Jika niatnya baik maka perbuatannya menjadi baik, dan akan memperoleh hasil yang baik pula. Jika niatnya jelek maka perbuatannya akan menjadi jelek dan akan mendapatkan hasil yang jelek pula. Seseorang akan mendapatkan balasan pahala dan limpahan rida Allah SWT atau ganjaran dosa dan murkaNya sesuai dengan niatnya, karena semua berawal dari niat. Wallahu a’lam

Referensi:
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256) al-Jami al-Sahih al-Musnad min Hadis Rasulillah SAW wa Sunanih wa Ayyamih. Al-Qahirah: al-Matba’ah al-Salafiyah. 1400 H.
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (773-852 H), Fath al-Bari Bisyarh Sahih al-Bukhari. Libnan: Dar al-Ma’rifah.
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (w.855 H). ‘Umdah al-Qary Syarh Sahih al-Bukhari. Libnan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001
Siral al-Din Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad al-Ansari al-Syafii Ibn Mulaqqin (723-804 H), al-Taudih Lisyarh al-Jami al-Sahih. Dimasq: Dar al-Nawadir. 2008
Mushthafa Dib al-Buga, al-Wafi fi Syarh al-Arb’in al-Nawawiyah. DImasyq: Dar al-Mustafa. 2010.
Ibn Daqiq al-‘Id (w.702 H), Syarh al-Arba’in Hadisan al-Nawawiyah. Al-Qahirah: Maktabah al-Turats
Salih bin Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Ali al-Syaikh, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah. Riyadh: Dar al-‘Ashimah. 2010
Muhammad bin Salih al-‘Usaimin, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah. Riyadh: Dar al-Tsaraya. 2004

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *